Telko.id – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendorong operator telekomunikasi seluler melakukan konsolidasi guna efisiensi mengantisipasi kompetisi antaroperator telekomunikasi seluler serta potensi penurunan pertumbuhan industri telekomunikasi.
Saat ini jumlah operator seluler yang beroperasi di Indonesia dinilai Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terlalu banyak, oleh karena itu harus segera disikapi.
“Hal itu sudah mulai disadari oleh para pemegang saham antaroperator telekomunikasi. Konsolidasi itu corporate action, sehingga pemegang saham yang menentukan, tapi pemerintah yang memfasilitasi “ kata Menkominfo Rudiantara dalam Seminar Indonesia Technology Forum di Jakarta, Kamis (02/05/2019).
Menurut Menteri Rudiantara, konsolidasi untuk menyehatkan industri sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya manage top line.
“Sebetulnya menyehatkan industri itu sederhana, bagaimana cara industri kita melihatnya jangan per operator, (tapi) manage top line,” kata Menteri Rudiantara.
Menteri Rudiantara menjelaskan, top line dari operator idealnya harus naik. Sebab, dirinya melihat top line di industri telekomunikasi ini masih dibawah angkah 1,5 persen. Menurutnya, hal itu dapat dibuktikan dari beberapa tahun sebelumnya yang sudah menunjukkan angka-angka yang tidak sehat dari industri telekomunikasi.
“Top line ini harus bisa naik, dan saya yakin bisa naik. Sebetulnya kontribusi top line yang secara industri kita masih mungkin sekitar 1,2 persen dari GDP,” ucap Menteri Rudiantara.
GDP Indonesia dibandingkan dengan negara lain, Menteri Rudiantara kemudian mencontohkan GDP di negara-negara tetangga yang rata-rata 1,5 persen. Bahkan, menurutnya GDP di Filipina sampai mencapai 1,7 persen.
“Ruang untuk kesana ada, tapi kemauan untuk kesana yang repot. Jadi, pemerintah juga bisa bantu banyak di komponen biaya dengan membuat aturan-aturan atau regulasi,” kata Menteri Rudiantara.
Kondisi Industri Telekomunikasi
Industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 semakin terpuruk. Menurut Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), untuk pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018.
Dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp 158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp 148 triliun alias minus 6,4 persen. Bisa dikatakan bahwa Industri telekomunikasi di tahun 2018 memang tidak begitu menggembirakan.
Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor penting yakni penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.
Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tarif layanan data termurah. Sementara itu konsumsi layanan data per pengguna juga cukup rendah dibandingkan negara yang sebanding, seperti Malaysia, Filipina dan India yaitu sekitar 3,5GB per bulan.
Meski demikian, para pemain industry selular optimis industri telekomunikasi di Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh. Pemain di industri ini masih melihat potensi yang menjanjikan di pertumbuhan konsumsi layanan data, serta peningkatan penetrasi smartphone yang semakin besar, perbankan dan infrastruktur B2B.
Namun, untuk membuat industri ini memiliki keberlanjutan, inisiatif operator saja tidak cukup. Para pelaku industry mengharapkan dukungan penuh dari pemerintah. Dukungan yang diharapkan antara lain melalui kebijakan dan regulasi terkait OTT dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menyehatkan kompetisi, serta menjamin keberlangsungan bisnis telekomunikasi.
Selain itu, juga perlunya pemutakhiran regulasi untuk teknologi dan layanan baru seperti 5G, Fixed Wireless Access dan IoT, termasuk persiapan penyediaan frekuensi untuk memenuhi kebutuhan sumber daya.
Pemerintah juga perlu membuat aturan dan regulasi yang jelas untuk mempermudah apabila ada operator yang akan melakukan konsolidasi, serta perlu dilakukan simplifikasi perizinan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Rudiantara mengatakan kondisi industri telekomunikasi di Indonesia belum ideal karena terlalu banyak pemain. Sehingga terus mendorong adanya konsolidasi yang bisa menjadi salah satu faktor yang mampu membuat industri telekomunikasi menjadi lebih sehat dan bergairah.
“Konsolidasi perlu dilangsungkan dengan tujuan agar industri telekomunikasi akan menjadi efisien. Dan hal itu sudah mulai disadari oleh para pemegang saham antar operator telekomunikasi. Konsolidasi itu corporate action sehingga pemegang saham yang menentukan tapi pemerintah yang memfasilitasi,” kata Rudiantara.
Siapkan Aturan
Menurut Menteri Kominfo saat ini lembaganya tengah menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya untuk keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi, yang tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain.
“Aturan ini sedang dipersiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kendati demikian, konsolidasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu aturan keluar,” jelasnya.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Ismail mengungkapkan industri telekomunikasi sepanjang 2018 semakin terpuruk. Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyebutkan pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen tahun lalu.
Penurunan disebabkan oleh beberapa faktor penting, yakni penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.
Menurut Dirjen Ismail, pemerintah perlu membuat aturan dan regulasi yang jelas untuk mempermudah apabila ada operator yang akan melakukan konsolidasi, serta perlu dilakukan simplifikasi perizinan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Selaku Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sekaligus Dirjen SDPPI, Ismail menyebutkan tigal hal penting terkait usaha konsolidasi. Pertama, tujuan dari konsolidasi adalah membuat sehat industri agar sustainability dari pembangunan infrastruktur terus berjalan.
Terjadinya konsolidasi pada segmen pasar yang tersedia itu cukup sehat untuk dibagi dengan jumlah operator yang tersedia. Saat ini, kondisi pasar terlalu ketat dengan jumlah operator yang sudah banyak. Hal ini membuat persaingan menjadi tidak sehat, sehingga keberlangsungan, salah satunya terkait pembangunan infrastruktur, menjadi berkurang.
Kedua, soal frekuensi. “Ini resource esensial yang sangat penting bagi kelanjutan dari merger itu, maka pihak operator menanyakan kepada regulator bagaimana policy dan regulasinya. Pada dasarnya, mengenai frekuensi akan dievaluasi oleh pemerintah kalau terjadi merger. Kemudian evaluasi yang paling pas untuk jumlah perusahaan baru itu frekuensi berapa itu akan kami terbitkan,” jelasnya.
Ketiga, isu soal pelanggan. Adanya merger, pelanggan akan diuntungkan, karena terjadi sebuah perusahaan yang sehat dalam memberikan layanan kepada publik. Perusahaan sehat yang dimaksud adalah korporasi yang secara berkelanjutan membangun dan memberikan kualitas layanan yang maksimal. Sebaliknya, ketika perusahaan tidak sehat, maka kualitas layanan pun tak akan bisa terjaga.
ITF adalah lembaga yang bergerak di bidang kajian, iskusi, seminar, riset yang terkait dengan isu dan perkembangan teknologi, regulasi dan trend yang sedang berkembang di masyarat. ITF berkomitmen mengawal persoalan bangsa yang berkenaan dengan ranah teknologi, telekomunikasi dan regulasi.
Seminar dan Talkshow yang diselenggarakan oleh Indonesia Technology Forum yang bertajuk Konsolidasi untuk Sehatkan Industri Telekomunikasi ini, juga dihadiri pejabat teras operator telekomunikasi, perusahaan, pengamat dan pekerja media media.
Dalam Seminar dan Talkshow, selain Dirjen SDPPI, ada tiga narasumber lain, yaitu Muhammad Buldansyah dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Raymond Kosasih dari Deutsche Bank, dan M Syarkawi Rauf dari Institute For Competition and Policy Analysis (ICPA). (Icha)