Telko.id – Pemerintah menyatakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak pribadi. Oleh karena itu, pembatasan akses terhadap rekaman pemakaian fasilitas jasa telekomunikasi dibatasi hanya untuk kebutuhan aparat penegak hukum (APH) yaitu Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Hal itu ditegaskan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Ahmad M. Ramli yang mewakili pemerintah saat memberikan keterangan pemerintah dalam Sidang Uji Materiil atas Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (09/01/2018) siang.
Uji materiil terhadap UU Telekomunikasi diajukan oleh Sadikin Arifin, terdakwa kasus tindak pidana narkoba. Ia meminta hak untuk bisa mengakses rekaman jasa telekomunikasi dengan alasan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.
Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi berbunyi “Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku”.
Aturan itu diuji pemohon karena dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Menurut Ahmad M. Ramli, kegiatan penyadapan atas informasi bertentangan dengan Pasal 40 UU Telekomunikasi. “Ada ancaman pidana. Dan dalam Pasal 42 ayat (1) UU Telekomunikasi yang diuji Pemohon telah mewajibkan penyelenggara telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan/atau diterima, oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya,” paparnya.
Dua Jenis Perekaman
Dirjen PPI Kementerian Kominfo menjelaskan terdapat dua kegiatan perekaman yang dapat dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Telekomunikasi. Pertama, perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi dan perekaman informasi.
“Akan tetapi, terkait perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi, telah memberikan hak kepada Pengguna Jasa Telekomunikasi untuk meminta rekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi kepada penyelenggara jasa telekomunikasi dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi,” jelas Ahmad M. Ramli.
Lebih lanjut, Dirjen Ramli menyatakan secara norma dan implementasinya rekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi dalam ketentuan Pasal 41 UU Telekomunikasi berupa data penggunaan fasilitas telekomunikasi.
“Sekurang-kurangnya tiga bulan terakhir terhitung sejak diterimanya surat permintaan tertulis, berupa call data record (cdr) antara lain meliputi data jumlah dan waktu incoming dan outgoing call, short message service (sms), tagihan (billing) dan routing yang mana rekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi tersebut tidak berbentuk rekaman percakapan,” tandas Ramli.
Menurut Dirjen PPI, permintaan rekaman informasi meski menjadi hak pribadi pengguna jasa telekomunikasi yang wajib dilindungi, tetapi ada pengecualian kepada aparat penegak hukum.
“UU Telekomunikasi mengatur pengecualian atas perlindungan hak pribadi tersebut dengan memberikan ruang bagi APH untuk memperoleh rekaman informasi yang bersifat pribadi tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo UU Telekomunikasi dan ketentuan-ketentuan mengenai perolehan alat bukti elektronik oleh APH dalam peraturan perundang-undangan lainnya,” jelas Ramli.
Antisipasi Dampak
Permohonan yang dilakukan oleh Sadikin Arifin dinilai Pemerintah bertentangan dengan peraturan yang lain. “Terkait dengan rekaman percakapan dan transkrip percakapan, keduanya merupakan alat bukti elektronik yang secara asas lex specialis pengaturannya tunduk pada ketentuan UU ITE khususnya ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 44 huruf b UU ITE,” jelas Ramli.
Jika permintaan pemohon disetujui, menurut keterangan Pemerintah, akan berpotensi menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara telekomunikasi. “Utamanya perlindungan terhadap pengguna jasa telekomunikasi atas rekaman informasi berupa percakapan dan pesan singkat yang merupakan data pribadi,” tutur Ramli.
Dari sisi hukum, Dirjen Ramli menjelaskan akan dapat merusak tatanan hukum baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan perundang-undangan sektoral maupun yurisprudensi yang memberikan ketentuan terkait perekaman informasi /penyadapan dan pembuktian.
“Pemohon menginginkan penafsiran Pasal 42 ayat (2) dimaksud serta merta memberikan kewenangan baginya untuk memperoleh informasi perekaman percakapan, jika hal ini dikabulkan dapat merusak tatanan hukum baik yang diatur dalam KUHAP, dan peraturan perundang-undangan sektoral maupun yurisprudensi,” jelasnya.
Terhadap uji materiil yang diajukan, mewakili pemerintah Dirjen PPI memohon kepada majelis hakim untuk menolak pengujian itu. “Untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ramli.
Selain itu, pemerintah memohon agar ada pernyataan majelis hakim mengenai ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Kami memohon majelis menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” papar Ramli. (Icha)