Telko.id – Saat ini sedang terjadi perubahan yang revolusioner di dunia, dimana semua hal menjadi terdigitalisasi, mulai dari kebutuhan hiburan pribadi hingga perekonomian suatu Negara. Inilah yang dinamakan era transformasi digital. Laporan Huawei Global Connectivity Index (GCI) 2017 yang baru saja diluncurkan memperlihatkan bahwa pada saat ini, ekonomi digital di negara maju di seluruh dunia terus menunjukkan peningkatan karena nilai investasi yang besar dan tingginya pengadopsian Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Beberapa negara maju telah menerapkan peraturan di bidang digital untuk mendorong investasi di bidang TIK, seperti Smart Nation di Singapura, Smart Digital di Malaysia, Internet Plus di Tiongkok, Advanced Manufacturing di Amerika, dan Industry 4.0 di Eropa. Pada saat yang bersamaan, ekonomi digital di negara berkembang juga telah mulai mempercepat pertumbuhan mereka dengan melakukan investasi strategis dalam kemampuan TIK dan transformasi digital, meskipun masih terdapat beberapa kesenjangan antara ekonomi digital di negara maju dan negara berkembang.
“Karakteristik dari ekonomi digital yang maju adalah semuanya dapat diakses secara mobile, terkoneksi, dan tervirtualisasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk semua masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di wilayah terpencil, untuk dapat memiliki jaringan selular yang dapat diandalkan,” ujar Mohamad Rosidi, Deputy Director of National ICT Strategy & Business Development, Huawei Indonesia.
Rosidi menambahakn bahwa “Agar tetap dapat bersaing, negara- negara yang masih dalam tahap awal transformasi digital perlu memprioritaskan pengembangan infrastruktur TIK, terutama konektivitas pita lebar dan adopsi cloud ke tingkat strategis dalam perencanaan ekonomi untuk mengaktifkan sumber daya lokal dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.”
Berdasarkan data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia memiliki populasi sebesar 260 juta jiwa dengan 93,4 juta diantaranya merupakan pengguna internet, dan penjualan e-commerce di Indonesia telah mencapai USD 2,6 milyar di tahun 2014. Hal ini menghasilkan potensi besar untuk memperluas koneksi internet dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital.
Rosidi melanjutkan, “Meskipun indikator GCI juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai yang luar biasa pada beberapa dimensi penilaian mendasar, termasuk peraturan pemerintah untuk pengembangan sektor TIK, investasi infrastruktur telekomunikasi yang memadai oleh penyedia layanan telekomunikasi, serta persentase yang tinggi untuk penduduk yang memiliki ponsel pintar, namun, saat ini masih terdapat lebih dari 10% masyarakat Indonesia yang masih belum memiliki akses jangkauan seluler.”
Seiring dengan tren di era ekonomi digital, pemerataan jaringan sangat dibutuhkan, terutama percepatan infrastruktur telekomunikasi di luar pulau Jawa dan wilayah terpencil, untuk meningkatkan penetrasi mobile broadband dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Akan tetapi, terdapat beberapa tantangan dalam menyebarkan infrastruktur di wilayah terpencil di Indonesia, seperti:
- Belanja Modal (Capex) yang tinggi karena tingginya biaya pekerjaan sipil dan pembangunan pembangkit tenaga listrik;
- Pengeluaran Operasional (Opex) yang tinggi karena sulitnya melakukan kunjungan lapangan dan biaya yang tinggi untuk bahan bakar dan sewa transmisi;
- Waktu Time to Market (TTM) yang lama karena lokasi yang terpencil dan kesulitan logistik;
- Waktu Return of Investment (ROI) yang lama karena rata-rata biaya per pengguna sekitar 2 – 3 dolar.
Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan dalam membangun jaringan di wilayah terpencil, Huawei memperkenalkan solusi total yang menggunakan metodologi 3 Data Dasar x 3 Dimensi untuk cakupan yang lebih akurat dengan biaya yang lebih efisien. Metodologi ini memperhitungkan sejumlah Data Dasar, termasuk populasi, daya transmisi dan grid, serta pengukuran 3 Dimensi untuk pendapatan, cakupan, serta biaya, yang dapat menghasilkan keuntungan. Solusi total yang ditawarkan oleh Huawei yaitu:
- Macro Site – Menggunakan beberapa teknologi yang menggabungkan teknologi 2G/3G/4G dan frekuensi 900/1800 MHz untuk menjangkau cakupan yang lebih luas dan menyediakan jaringan dengan kapasitas yang lebih baik. Solusi ini dapat digunakan di daerah pedesaan atau daerah yang berbatasan dengan wilayah pinggiran kota.
- RuralStar – Menggunakan beberapa teknologi yang menggabungkan teknologi 2G/3G dan frekuensi 900 MHz, yang mampu menghasilkan jaringan yang lebih akurat, luas, dan terpusat dengan harga yang lebih rendah dan penyebaran yang lebih cepat. Solusi ini dapat diterapkan di wilayah terpencil atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain.
Solusi total ini dapat menghasilkan jaringan, teknologi dan layanan yang lebih optimal yang diterapkan di wilayah terpencil dan mempercepat ekonomi digital nasional.
“Huawei percaya akan pentingnya meningkatkan jaringan di wilayah terpencil untuk mempercepat pembangunan TIK nasional. Oleh karena itu Huawei menawarkan solusi yang mencakup produk-produk dengan daya yang rendah, fitur hemat energi, komponen yang dioptimalkan, dan fitur hemat transmisi. Karena kami melihat bahwa kemampuan TIK dapat mendukung pertumbuhan yang positif untuk ekonomi nasional,” ujar Mohamad Rosidi.
Huawei GCI 2017
Huawei GCI 2017 adalah penelitian tahunan yang sudah dilakukan untuk keempat kalinya dan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan transformasi digital 50 negara, termasuk Indonesia. Dalam survey ini, Huawei menggunakan dasar pengukuran 40 indikator unik meliputi lima enabler teknologi: pita lebar, pusat data, cloud, big data, dan Internet of Things (IoT). Disebut enabler karena dengan melakukan investasi di lima teknologi utama ini, maka setiap negara akan bisa melakukan digitalisasi ekonomi.
Dari 50 negara yang dianalisa, 16 negara dianggap sebagai negara terdepan atau Frontrunners, 21 negara merupakan Adopters, dan 13 negara lainnya merupakan Starters. Kelompok ini mencerminkan kemajuan suatu negara dalam hal transformasi digital. Sebagian besar negara yang tergabung dalam Frontrunners terdiri dari negara-negara maju yang terus meningkatkan pengalaman pengguna di bidang digital, menggunakan big data dan IoT untuk menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan efisien.
Negara-negara yang termasuk Adopters fokus dalam meningkatkan permintaan TIK untuk memfasilitasi digitalisasi industri dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tinggi. Sementara itu, negara-negara Starters masih berada dalam tahap awal pembangunan infrastruktur TIK dan masih fokus dalam meningkatkan pasokan TIK untuk memberikan akses digital kepada lebih banyak orang.
Dalam hasil penelitian GCI 2017, Indonesia tergolong Starters dan menempati posisi ke-40, naik dua peringkat dibandingkan tahun lalu, dengan tingkat penetrasi 4G yang meningkat drastis serta biaya fixed dan mobile broadband yang semakin terjangkau. Hal ini tidak terlepas dari peran penting pemerintah Indonesia mengenai rencana pita lebar (broadband) lima tahun yang akan menjangkau 49% rumah tangga di pedesaan dan 70% rumah tangga di perkotaan di tahun 2019. Akan tetapi, diantara sejumlah Negara ASEAN lainnya, Indonesia masih menempati posisi yang cukup rendah. Tetangga terdekatnya, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam menempati posisi ke 2, 24, 33, 38 dan 41 pada GCI 2017. (Icha)