Telko.id – Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan regulasi tambahan untuk operator satelit asing yang beroperasi di Tanah Air.
Hal ini menyusul meningkatnya kehadiran satelit asing seperti Starlink dan rencana masuknya pemain baru dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sebuah forum diskusi, perwakilan ASSI (Asosiasi Satelit Indonesia) menjelaskan bahwa regulasi saat ini memberikan fasilitas “landing right” dengan dua syarat utama: koordinasi dengan operator lokal dan prinsip resiprokal.
Namun, muncul kekhawatiran ketimpangan antara pemain asing dan lokal dalam pemanfaatan frekuensi.
“Kami berpikir perlu menambahkan beberapa item untuk kerja sama, bukan mempersulit, tapi prinsipnya adalah bagaimana kita punya kesempatan yang sama,” jelas Sigit Jatiputro, Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia menjelaskan.
Proteksi Frekuensi dan Hak Negara
Salah satu usulan baru adalah hak setiap negara untuk memiliki sistem satelitnya sendiri. Selain itu, diusulkan mekanisme kontrol transmisi satelit asing berdasarkan kepatuhan terhadap regulasi.
“Kalau sudah comply dengan aturan, boleh transmit. Kalau belum, tidak boleh transmit di wilayah Indonesia,” tambahnya.
ASSI juga mendorong penerapan “explicit agreement” berdasarkan Artikel 1.15 ITU (International Telecommunication Union) untuk mengontrol satelit asing.
Langkah ini diklaim sebagai upaya melindungi frekuensi yang terbatas dan memastikan kesetaraan akses bagi operator lokal.
Baca Juga:
Kolaborasi Ekosistem dan Teknologi Ramah Lingkungan
Forum ini juga membahas pentingnya kolaborasi antar-ekosistem, tidak hanya di industri satelit tapi juga dengan sektor lain seperti logistik, pendidikan, dan kesehatan.
“Dengan satelit, konektivitas bisa mempercepat ekspansi layanan kesehatan ke daerah terpencil,” ujar Anggoro K. Widiawan, Ketua Umum.
Isu satelit ramah lingkungan juga mengemuka. Pembicara menjelaskan kriteria satelit ramah lingkungan, antara lain material yang mudah terurai dan tidak mengganggu astronomi.
“Ini menjadi tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia yang ingin membangun industri satelit sendiri,” ujarnya.
Diskusi juga menyentuh rencana pembentukan badan antariksa baru untuk memantau space debris (sampah antariksa).
Saat ini Indonesia masih mengandalkan informasi dari luar negeri untuk memantau objek antariksa yang berpotensi jatuh ke Bumi.
Mengenai kemandirian peluncuran satelit, pembicara mengakui tantangan besar yang dihadapi.
“Kita perlu fokus pada pengembangan bertahap, dimulai dari fasilitas pendukung seperti tempat penyimpanan dan perakitan satelit,” jelasnya.
Kolaborasi dengan negara tetangga disebut sebagai salah satu strategi untuk mempercepat pengembangan industri antariksa nasional.
Menurut data yang diungkapkan dalam forum, nilai pasar satelit di Indonesia mencapai lebih dari Rp6 triliun per tahun.
Namun, dampak tidak langsung terhadap sektor lain seperti pendidikan dan logistik diperkirakan jauh lebih besar. (Icha)