Telko.id – Bayangkan harus merogoh kocek tambahan Rp5 juta hanya untuk membeli iPhone terbaru. Itulah skenario mengejutkan yang dihadapi konsumen AS jika rencana tarif impor Presiden Donald Trump benar-benar berlaku.
Menurut analis UBS, harga iPhone 16 Pro Max bisa melonjak $350 (Rp5,6 juta) dari harga normal $1.199 (Rp19,2 juta).
Kebijakan “tarif timbal balik” Trump terhadap produk China telah menciptakan badai di pasar teknologi. Apple, yang 90% produksinya masih berpusat di Negeri Tirai Bambu, terjebak di pusaran perang dagang ini.
Saham raksasa Cupertino itu anjlok 20% dalam tiga hari terakhir—terbesar sejak pandemi—setelah investor menyadari besarnya dampak kebijakan baru ini.
Lalu, bagaimana Indonesia? Meski tak langsung terkena tarif AS, efek domino kenaikan harga global dan gejolak supply chain bisa sampai ke sini.
Apalagi, model iPhone 16 Pro yang diproduksi di India “hanya” akan terkena kenaikan $120—petunjuk bahwa diversifikasi produksi mungkin jadi senjata rahasia Apple.
Skema Kenaikan yang Tidak Merata
Laporan UBS mengungkap pola menarik:
- iPhone 16 Pro Max (produksi China): +$350 (29,2%)
- iPhone 16 Pro (produksi India): +$120 (12%)
- Seluruh lini produk: Prediksi kenaikan 17-18% (Morgan Stanley)
“Ada ketidakpastian besar dalam pembagian biaya dengan supplier dan kemampuan meneruskan biaya ke konsumen,” tulis Sundeep Gantori, analis UBS.
Faktanya, tarif China untuk produk AS sudah mencapai 54% sebelum pengumuman kenaikan tambahan Senin lalu.
Pilihan Pahit Apple: Naikkan Harga atau Gigit Jari
Analis Barclays Tim Long memproyeksikan Apple hanya punya dua opsi:
- Menaikkan harga dan risiko kehilangan pembeli di saat daya beli melemah
- Menyerap biaya tambahan yang bisa menggerus laba per saham hingga 15%
Skenario terburuk? Wedbush memperkirakan iPhone bisa mencapai $3.500 jika produksi dipindahkan ke AS—opsi yang disebut para ahli supply chain “hampir mustahil” karena kompleksitas manufaktur.
Friendshoring Bukan Solusi Ajaib
Meski Apple telah membangun pabrik di India, Vietnam, dan Thailand (strategi “friendshoring”), Morgan Stanley memperingatkan: “Tarif baru membuat hampir tidak ada bedanya antara produksi di China atau negara lain—semua kena tarif impor AS yang besar.”
Analis JPMorgan Chase malah memprediksi kenaikan harga 6% secara global sebagai efek domino. Ironisnya, langkah diversifikasi produksi Apple selama 5 tahun terakhir bisa sia-sia jika kebijakan Trump benar-benar diterapkan.
Pertanyaan besarnya: Akankah pemerintah AS memberikan pengecualian untuk Apple? Atau apakah Tim Cook harus mengubah peta produksi secara radikal? Satu hal yang pasti—era iPhone terjangkau mungkin akan segera berakhir. (Icha)