Telko.id – Pemerintah menargetkan aksesibilitas telekomunikasi merata di seluruh Indonesia pada tahun 2020. Harapannya, seluruh desa pemukiman sudah dapat menikmati layanan seluler atau internet setara dengan akses di Pulau Jawa. Tapi ternyata, jalan menuju pemerataan sinyal itu penuh liku.
Operator ‘enggan’ membangun jaringan kalau tidak menguntungkan secara ekonomi. Ok, kalau operator tidak mau, pemerintah pun lewat BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia) mengatasi dengan program Universal Service Obligation (USO), yang mengambil 1,25% total pendapatan seluruh operator telekomunikasi setiap tahunnya.
Duh ternyata, dana USO itu pun tidak cukup. Hal tersebut disampaikan Anang Latief, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI) dalam diskusi yng digelar oleh Selular di Jakarta (27/12/2018).
“Kalau cuma 1,25% tidak cukup untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di 5000 lebih desa,” kata Anang.
Berapa sih sebenarnya 1,25% itu? Saat ini, pendapatan industri telko itu mencapai Rp200 juta. Artinya, sekitar Rp2.5 triliun yang disetorkan oleh operator ke BAKTI untuk membangun jaringan.
Padahal, sebagai bagian dari pemerintah, BAKTI harus membangun akses telekomunikasi di area terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Menurut Anang, di negara lain seperti India operator telekomunikasi diwajibkan menyetor dana USO sebesar 5% dari gross revenue. Namun BAKTI tak ingin membebani APBN maupun operator dengan menaikan dana USO.
Untuk mengatasi kekurangan pembiayaan tersebut disampaikan Anang, BAKTI akan mencari solusi skema pembangunan tanpa memberatkan operator.
Terkait upaya ini, Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI mengingatkan agar BAKTI tidak mencari keuntungan dalam skema pembiayaan yang dilakukannya.
“Dalam melaksanakan USO ini BAKTI tidak boleh mencari keuntungan karena pemerintah wajib hadir di wilayah yang belum terjangkau akses telekomunikasi, khususnya di wilayah 3T,” imbau Alamsyah usai Diskusi.
Lebih lanjut Alamsyah menegaskan, peran BAKTI yang tadinya pelaksana USO jika akan menjadi semi penyelenggara telekomunikasi harus dibuat aturan bagaimana interaksinya dengan operator yang ada. Jangan sampai terjadi konflik Kepentingan antara pengelola dana USO dan Operator: pengendali versus mitra bisnis.
“Jangan sampai dalam menjalankan tugasnya melakukan pemerataan akses telekomunikasi terjadi mal administrasi,” pungkas Alamsyah.
Ombusdman dikatakan Alamsyah akan memantau dan mengawal semua keputusan, baik skema bisnis maupun tata cara operasional yang di hasilkan BAKTI, jangan sampai ada mal administrasi apalagi berbenturan dengan operasional operator dilapangan yg bisa menyebabkan kerugian negara serta potensi kerugian lainnya.
Beberapa potensi mal administrasi yang bisa terjadi dijelaskan Alamsyah diantaranya adalah potensi pelanggaran Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 33 ayat 1 dan 2 UU 36/1999 Undang-Undang Telekomunikasi, serta pasal 15 ayat 3, Pasal 25 PP 52/2000. Selain itu juga potensi pelanggaran Putusan Mahkamah Agung Nomor: 01/PID.Sus/2013/PN.JKT.PST.
Itu sebabnya, BAKTI, melirik Biaya Hak Penggunaan (BHP) dari operator.
Menurut Anang, rata-rata operator telekomunikasi seperti Telkomsel kira-kira membayar 10% kepada pemerintah terkait BHP frekuensi, BHP penyelenggaraan dan BHP USO.
“Nah, kita melirik jumlah dana itu saja tanpa memberikan beban lagi kepada industri,” pungkasnya. (Icha)